Kata ‘Allah’ merupakan nama Tuhan yang paling populer. Apabila anda
berkata :”Allah..”, maka apa yang anda ucapkan itu telah mencakup semua
nama-nama-Nya yang lain, sedangkan bila anda mengucapkan nama-nama-Nya
yang lain – misalnya ‘ar-Rahmaan’, ‘al-Malik’ dan sebagainya – maka ia
hanya menggambarkan sifat Rahman, atau sifat kepemilikan-Nya. Disisi
lain, tidak satupun dapat dinamakan Allah, baik secara hakikat maupun
secara majazi, sedangkan sifat-sifat-Nya yang lain – secara umum – dapat
dikatakan bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Bukankah kita dapat
menamakan si Ali yang pengasih sebagai ‘Rahiim’?, atau Ahmad yang
berpengetahuan sebagai ‘Aliim’?. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa itu
sendiri yang menamakan dirinya Allah.
14. Sesungguhnya Aku ini
adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaahaa). Innanii =
sesungguhnya Aku, anaa = Aku, Allaahu = Allah, laa ilaaha = tidak ada
tuhan, illaa = melainkan, ana = Aku…
Dia juga dalam Al-Qur’an
yang bertanya :”hal ta’lamu lahuu samiyyaa..” (Surat Maryam ayat 19).
Ayat ini, dipahami oleh pakar-pakar Al-Qur’an bermakna :”Apakah engkau
mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini..?” atau :”Apakah
engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan
kesempurnaan sebagaimana pemilik nama itu (Allah)?” atau bermakna
:”Apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih agung dari nama ini?”,
juga dapat berarti :”Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan
Dia (yang patut disembah)?”
Pertanyaan-pertanyaan yang
mengandung makna sanggahan ini kesemuanya benar, karena hanya Tuhan Yang
Maha Esa yang wajib wujudnya itu yang berhak menyandang nama tersebut,
selain-Nya tidak ada, bahkan tidak boleh. Hanya Dia yang berhak
memperoleh keagungan dan kesempurnaan mutlak, sebagaimana tidak ada nama
yang lebih agung dari nama-Nya itu.
Para ulama dan pakar bahasa
mendiskusikan kata tersebut antara lain apakah ia memiliki akar kata
atau tidak. Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’
tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tapi ia adalah nama yang
menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup
dan kehidupan, serta hanya kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk
mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat, bahwa kata
‘Allah’ asalnya adalah ‘Ilaah’, yang dibubuhi huruf ‘Alif’ dan ‘Laam’
dan dengan demikian, ‘Allah’ merupakan nama khusus, karena itu tidak
dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan ‘Ilaah’ adalah nama yang bersifat
umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural), yaitu ‘Alihah’. Dalam
Bahasa Inggeris, baik yang bersifat umum maupun khusus, keduanya
diterjemahkan dengan ‘god’, demikian juga dalam Bahasa Indonesia
keduanya dapat diterjemahkan dengan ‘tuhan’, tapi cara penulisannya
dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil ‘god/tuhan’,
dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf besar ‘God/Tuhan’.
‘Alif’
dan ‘Laam’ yang dibubuhkan pada kata ‘Ilaah’ berfungsi menunjukkan
bahwa kata yang dibubuhi tersebut merupakan sesuatu yang telah dikenal
dalam benak. Kedua huruf tersebut sama dengan ‘The’ dalam bahasa
Inggeris. Kedua huruf tambahan itu menjadi kata yang dibubuhi menjadi
‘ma’rifat’ atau ‘definite’ (diketahui/dikenal). Pengguna Bahasa Arab
mengakui bahwa Tuhan yang dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan
Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan (aliihah/bentuk jamak dari ilaah)
yang lain. Selanjutnya dalam perkembangannya lebih jauh dan dengan
alasan mempermudah, ‘hamzah’ yang berada antara dua ‘laam’ yang dibaca
‘i’ pada kata ‘al-Ilaah’ tidak dibaca lagi, sehingga berbunyi ‘Allah’
dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang
tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata ‘Allah’ menjadi
nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.
Sementara
ulama berpendapat bahwa kata ‘Ilaah’ yang darinya terbentuk kata
‘Allah’ berakar dari kata ‘al-Ilaahah’, ‘al-Uluuhah’ dan ‘al-Uluuhiyyah’
yang kesemuanya menurut mereka bermakna ‘ibadah/penyembahan’, sehingga
‘Allah’ secara harfiah bermakna ‘Yang Disembah’. Ada juga yang
berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari kata ‘Alaha’ dalam arti
‘mengherankan’ atau ‘menakjubkan’ karena segala perbuatan/ciptaan-Nya
menakjubkan atau karena bila dibahas hakekat-Nya akan mengherankan
akibat ketidak-tahuan makhluk tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu.
Apapun yang terlintas dalam benak menyangkut hakekat zat Allah, maka
Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan
:”Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir
tentangZat-Nya”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ terambil
dari akar kata ‘Aliiha Ya’lahuu” yang berarti ‘tenang’, karena hati
menjadi tenang bersama-Nya, atau dalam arti ‘menuju’ dan ‘bermohon’
karena harapan seluruh makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya jua
makhluk bermohon.
Memang setiap yang dipertuhankan pasti disembah
dan kepadanya tertuju harapan dan permohonan lagi menakjubkan
ciptaannya, tetapi apakah itu berarti bahwa kata ‘Ilaah’ – dan juga
‘Allah’ – secara harfiah bermakna demikian..? , dapat dipertanyakan
apakah bahasa atau Al-Qur’an yang menggunakannya untuk makna ‘yang
disembah’?. Kalau anda menemukan semua kata ‘Ilaah’ dalam Al-Qur’an,
niscaya akan anda temukan bahwa kata itu lebih dekat untuk dipahami
sebagai penguasa, pengatur alam raya atau dalam genggaman-Nya segala
sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini demikian, ada yang salah pilih
‘ilaah’nya.
Kata ‘Allah’ mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki
oleh kata selainnya, ia adalah kata-kata yang sempurna huruf-hurufnya,
sempurna maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan
rahasianya, sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang
dinamai ‘Ismu-Ilaah al-A’zham (Nama Allah yang paling mulia). Yang bila
diucapkan dalam do’a, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafaz
terlihat keistimewaan ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata
‘Allah’ dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi ‘Lilaah’ dalam
arti ‘milik/bagi Allah’, kemudian hapus huruf awal dari kata ‘Lilaah’,
itu akan terbaca ‘Laahu’ dalam arti ‘bagi-Nya’, selanjutnya, hapus lagi
huruf awal dari ‘Laahu’, akan terdengan dalam ucapan ‘Huu’, yang berarti
‘Dia (menunjuk Allah), dan apabila itupun dipersingkat akan terdengar
suara ‘Ah’ yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan,
tapi pada hakekatnya mengandung makna permohonan kepada Allah. Karena
itu sementara ulama berkata bahwa kata ‘Allah’ terucap oleh manusia,
sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka. Itulah salah satu
bukti adanya ‘fitrah’ dalam diri manusia. Al-Qur’an juga menegaskan
bahwa sikap orang-orang musyrik adalah :
38. Dan sungguh jika
kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan
bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". (Az Zumar)
dari segi
makna dapat dikatakan bahwa kata ‘Allah’ mencakup segala
sifat-sifat-Nya, bahkan Dia-lah yang menyandang nama-nama tersebut,
karena itu jika anda berkata “Yaa..Allah..”, maka semua
nama-nama/sifat-sifat-Nya telah tercakup oleh kata tersebut. Disisi
lain, jika anda berkata ‘ar-Rahiim’, maka sesungguhnya yang anda maksud
adalah Allah. Demikian juga ketika anda menyebut ‘al-Muntaqim’ (yang
membalas kesalahan), namun kandungan makna ‘ar-Rahiim’ (Yang Maha
Pengasih) tidak tercakup didalam pembalasan-Nya, atau sifat-sifat-Nya
yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syahadat seseorang
selalu harus menggunakan kata ‘Allah’ ketika mengucapkan ‘Asyhadu an Laa
Ilaaha Illa-llaah’ dan tidak dibenarkan menggantinya dengan
nama-nama-Nya yang lain.
Demikianlah Allah, karena itu tidak
heran jika ditemukan sekian banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang
memerintahkan orang-orang beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama
Allah, karena itu setiap perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan
menyebut nama itu, nama Allah. Rasulullah bahkan mengajarkan lebih
rinci lagi :”Tutuplah pintumu dan sebutlah nama Allah, padamkanlah
lampumu dan sebutlah nama Allah, tutuplah periukmu dan sebutlan nama
Allah, rapatkanlah kendi airmu dan sebutlah nama Allah…”
Tafsir al-Mishbah buku 1
M.Quraish Shihab
bagaimana nama Allah dari sudut pandang inteletual mantan diaken dan juga master perbandingan dari Havard university?
Penggunaan
kata Allah yang berarti Tuhan sering kali terdengar agak aneh,
esoterik, dan asing bagi telinga orang Barat. Allah adalah kata dalam
bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti Tuhan
atau menyiratkan Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan bahasa
Arab terkait dengan bahasa-bahasa Semitik, dan istilah Arab Allah atau
al-Ilah terkait dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti Tuhan.1
El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau Sang Tuhan.2 Ia adalah kata
bahasa Ibrani yang dalam Perjanjian Lama diterjemahkan Tuhan. Karena
itu, kita bisa memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah konsisten,
bukan hanya dengan Al-Qur'an dan tradisi Islam, tetapi juga dengan
tradisi-tradisi-biblikal yang tertua.
Persamaan mendasar antara
istilah Arab al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya, dan istilah
Ibrani El-Elohim bisa dipahami secara lebih jelas jika kita memerhatikan
abjad bahasa Arab dan Ibrani. Baik bahasa Arab maupun Ibrani sama-sama
tidak memiliki huruf untuk bunyi vokal. Abjad kedua bahasa tersebut
hanya terdiri dari konsonan, dan keduanya bersandar pada penandaan
sebagai bunyi vokal yang secara khas ditemukan hanya dalam tulisan
formal sebagai satu petunjuk pengucapan. Transliterasi bahasa Indonesia
dari istilah Arab al-Ilah dan istilah Ibrani El-Elohim telah memasukkan
penandaan-penandaan vokal ini. Jika kita harus menghilangkan
transliterasi Indonesia berupa penandaan-penandaan vokal ini, maka
istilah Arab tersebut menjadi al-Ilh dan istilah Ibrani di atas menjadi
El-Elhm. Jika kita harus menghilangkan bentuk jamak, yang hanya
ditemukan dalam bahasa Ibrani, maka istilah Arabnya tetap al-Ilh,
sementara istilah Ibraninya menjadi El-Elh. Akhirnya, jika kita harus
melakukan transliterasi atas seluruh "alif" dalam bahasa Arab sebagai
"a", dan seluruh "alif" dalam bahasa Ibrani sebagai "a" juga, maka
istilah Arabnya menjadi Al-Alh, dan istilah Ibraninyapun menjadi Al-Alh.
Dengan kata lain, dengan pengecualian tunggal bahwa bahasa Ibrani
menggunakan bentuk jamak, al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya,
dan El-Elohim, istilah Ibrani yang diterjemahkan sebagai Tuhan dalam
Perjanjian Lama, benar-benar merupakan istilah yang sama sekali identik
dalam bahasa Arab dan Ibrani, dua bahasa yang memiliki hubungan sangat
erat.
dan bagaimana nama tersebut menurut intelektual Kristen, Herlianto/YBA
MENJAWAB HUJATAN PARA PENENTANG ALLAH DI DALAM ALKITAB
Baru-baru
ini beberapa gereja-gereja dan segelintir umat Kristen diresahkan
dengan terbitnya "Alkitab Eliezer ben Abraham" berjudul Kitab Suci
Taurat dan Injil. Tidak kurang juga orang Kristen telah bingung dengan
gerakan ini. Gerakan ini menuntut agar istilah Allah dalam Kitab Suci
umat Kristian dihapuskan. Alasannya, nama Allah itu kononnya berasal
dari "dewa air" yang mengairi bumi.
Saya sendiri sudah pernah
menanggapi usul kontroversial ini dengan menggelar seminar yang
menghadirkan pembicara Muslim dari IAIN Syarif Hidayatullah, Dr. Kautsar
Azhari Noer.(1) Rekan Muslim saya ini menanggapi dengan kepala dingin,
seraya mengatakan: "Itu hanya gerakan kaum awam yang tidak perlu
ditanggapi.: Mengapa? Menurut Kautsar, "Setiap agama mengenal
kontekstualisasi atau inkulturasi." Ya, memang dulu istilah Allah pernah
dipakai di lingkungan orang-orang jahiliah sebelum zaman Islam. Tetapi
Islam justru datang untuk mengubah makna teologis istilah itu.
SEKITAR PENYIMPANGAN NAMA YAHWEH DAN ALLAH
Setelah
seminar tersebut, reaksi berdatangan dari pihak "penentang Allah".
Bahkan terbit traktat baru yang khusus menanggapi makalah saya. Saya
sendiri memutuskan untuk menghentikan polemik ini. Terus terang, amatlah
sulit untuk sesiapa pun memahami "logika" kaum yang kurang cerdas itu.
Bayangkan
saja, menurut mereka Allah sebenarnya adalah nama "dewa air." Yang
menjadi dasar mereka adalah buku-buku sumber yang mereka kutip
sepenggal-sepenggal dan lepas dari konteks. Saya pun membuktikan
berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang ditemukan di Kuntilet Ajrud,
di sekitar Nablus sekarang. Di daerah tersebut nama Yahweh pernah dipuja
bersama-sama dewi kesuburan Asyera. Salah satu bunyi inksripsi Kuntilet
Ajrud, seperti disebut Andrew D. Clarke dan Bruce W. Winters (ed.), One
God, One Lord; Christianity in a world of religious Pluralism, dalam
bahasa Ibrani:
Birkatekem le-Yahweh syomron we le 'asyeratah
Yakni - Aku memberkati engkau demi Yahwe dari Samaria dan demi Asyera. (2)
Dengan
fakta di atas, apakah kita dapat mengatakan kita jangan menggunakan
nama Yahwe karena nama ini sekutu Asyera, dewi kesuburan Palestina?
Argumentasi ini dijawab oleh mreka, bahwa semua yang saya kemukakan itu
tidak perlu ditanggapi karena tidak berdasar pada Alkitab. Ya, maksud
mereka adalah saya tidak perlu mengutip data-data arkeologi dalam
berargumentasi, kecuali hanya berdasarkan ayat-ayat Alkitab.
Nah,
di sinilah terbukti ketidakadilan kaum penentang "Allah" dengan amat
jelas! Mengapa? Sebab umat Islam tentu saja boleh bertanya balik,
"Apakah Allah sebagai dewa air itu ada dalam Alquran?" Lalu, umat Islam
pun mengajak kita untuk berargumentasi dan berdebat tanpa bukti sejarah.
Cukup dengan ayat-ayat Al-Quran saja. Kalau begitu, jelas tidak ada
sepotong ayat pun dalam Alquran yang menyebut Allah sebagai dewa air.
Menurut Alquran, Allah adalah Pencipta langit dan bumi (Q.surah
al-Jatsiyah 45:22, "Wa khadaq Allah as-samawati wa al-ardh").
Begitu
juga, siapakah Allah itu bagi umat Kristen Arab? "Allah" - demikian
menurut Buthros 'Abd al-Malik, dalam Qamus al-kitab al-Muqaddas - adalah
"nama dari Ilah (sembahan) yang menciptakan segala yang ada" (hadza
al-llah khalaq al-jami' al-kainat). (3)
Begitu juga, setiap umat
Arab Kristen sebelum atau sesudah Islam mengawali mengucapkan Qanun
al-Iman (syahadat Kristian) yang diawali dengan kalimat:
"Nu'minu bi-ilahun wahidun, Allah al-Ab al-dhabital kull, khalaqa as-sama'I wa al-ardh, kulla ma yura wa maa layuura"
yang bermaksud :
Kami
percaya kepada satu-satunya sembahan/ilah, yaitu Allah Bapa, yang
berkuasa atas segala sesuatu, Pencipta langit dan bumi, dan segala
sesuatu yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. (4)
Mengapa
mreka menuduh bahwa Allah adalah "dewa air" berdasarkan sumber-sumber
tulisan yang bukan Alquran, sementara mereka menolak data yang telah
saya kemukakan tentang penyimpangan nama Yahwe, karena tidak ada dalam
Alkitab?
Oleh karena itu, saya menyarankan agar belajar lebih
banyak tentang sejarah kekristenan di Timur Tengah, tempat kekristenan
mula-mulanya berkembang. Peranan filologi (ilmu perbandingan bahasa)
juga sangat penting dalam memperkaya kajian ini, sebelum mereka begitu
bersemangat menyebarkan pendapat yang jelas-jelas tidak ilmiah.
KATA ALLAH DAN PADANANNYA DALAM BAHASA IBRANI DAN ARAMI
Dalam
menilai kata Allah, kita harus memahami bahwa kata itu serumpun dengan
kata-kata bahasa Semitik yang lebih tua (yang dipakai di Timur Tengah:
Ibrani dan Arami). Kata Allah itu cognate dengan kata Ibrani: El, Eloah,
Elohim; dan kata Arami Elah, Alaha, yang semuanya terdapat dalam
Perjanjian Lama ataupun dalam Targum (komentar-komentar Taurat dalam
bahasa Arami yang lazim dibaca mulai dari zaman sebelum Al-Masih, zaman
Sayidina Isa hingga hari ini).
Perlu anda ketahui, sebagian kecil
Kitab Perjanjian Lama juga ditulis dalam bahasa Arami, yakni beberapa
pasal Kitan Ezra dan juga beberapa pasal dari Daniel. Marilah kita baca
dan cermati ayat-ayat yang menggunakan kata elah di bawah ini:
"Be Shum elah yisra'el ..."
Daniel 5 : 1, "Demi Nama Allah Israel."
"...di elahekon hu elah elahin, umara malekin
Daniel 2:47, "Sesungguhnya Elah-mu itu elah yang mengatasi segala elah dan berkuasa atas para raja.
Sedangkan
bentuk Ibrani yang dekat dengan istilah Arami elah dan Arab ilah,
al-ilah dan Allah adalah sebutan eloah, misalnya disebutkan:
"Eloah mi-Teman yavo we Qadosh me-Har Paran, Selah"
Yaitu Habakuk 3 : 3, yang bererti -
"Eloah akan datang dari negeri Teman, dan Yang Mahakudus dari pergunungan Paran, Sela."
Tetapi
argumentasi ini pun segera ditanggapi dengan traktat mereka. Menurut
mereka, istilah el, elohim, eloah (Ibrani) dan elah, alaha
(Arami/Syriac) tidak sejajar dengan istilah Arab Allah berasal dari ilah
(God, sembahan). Dengan awalan kata sandang di depannya Al (Inggris:
the), makna the god, "sembahan yang itu". Maksudnya sembahan atau ilah
yang benar.
"Laa ilaha ilallah". Tidak ada ilah selain Allah.
Allah adalah satu-satunya ilah. Ungkapan Laa ilaha ilallah ini, dijumpai
pula dalam Alkitab terjemahan bahasa Arab, 1 Korintus 8 : 4-6 berbunyi :
"...
wa'an Laa ilaha ilallah al-ahad, ...faa lana ilahu wahidu wa huwa
al-Abu iladzi minhu kullu sya'in wa ilahi narji'u, wa huwa rabbu wahidu
wa huwa Yasu' al-Masihu iladzi bihi kullu syai'in wa bihi nahya"
Yakni maksudnya :
Dan
sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah, Yang Mahaesa ... dan bagi
kita hanya ada satu ilah/sembahan yaitu Bapa, yang dari-Nya berasal
segala sesuatu dan kepada-Nya kita akan kembali, dan hanya ada satu
Rabb/Tuhan, yaitu Yesus Kristus yang melalui-Nya (sebagai Firman Allah)
telah diciptakan segala sesuatu dan untuk Dia kita hidup). (5)
Mereka
begitu entengnya menanggapi hal ini. Menurut brosur mereka, istilah
'Allah' memang ada dalam Alkitab berbahasa Ibrani, tetapi artinya
"sumpah" (1 Raj. 8:31; II Taw. 6:22). Mereka benar, tetapi mereka juga
harus tahu, seperti kata Yahweh tidak turun dari langit. Demikian pula
kata elohim, eloah, elah berasal dari akar kata tertentu. Menurut C.L.
Schofield, istilah elah berasal dari akar kata el (Yang Maha kuat) dan
alah (sumpah):
"to swear, to bind oneself by an oath, so implifying faithfullness." (6)
Jadi,
di hadapan hadirat El (Yang Maha kuat) seseorang mengikat sumpah
(alah). Dari kata El dan alah ini, kemudian terbentuklah kata elah.
Sedangkan bentuk elohim, dengan akhiran im menunjukkan jamak untuk
menekankan kebesaran (pluralis maestaticus). Oleh para pujangga gereja
kata tersebut ditafsirkan secara alegoris sebagai bukti dari sifat
ketritunggalan Allah. Karena itu, sangat gegabah untuk menolak fakta
keserumpunan antara Arab dengan bahasa Ibrani dan Aram, hanya dengan
argumentasi dangkal seperti ini.
Kata alah (dengan satu "l")
memang ada dalam bahasa Ibrani yang berarti "sumpah, kutuk". Berbeda
dengan bahasa Arab allah (dengan dua huruf "L"). Dua huruf "l" (lam)
yang dalam istilah Allah menunjukkan asal-usulnya dari kata sandang Al
(the) dan ilah (god) seperti dikemukakan di atas. (7)
ISTILAH ALLAH DI LINGKUNGAN KRISTIAN SYRIA PRA-ISLAM
Seperti
istilah Yahweh pernah dipuja secara salah di sekitar wilayah Samaria,
terbukti dari inskripsi Kuntilet Ajrud dan Khirbet el-Qom, demikian juga
istilah Allah disalahgunakan di sekitar Mekkah sebelum zaman Islam.
Tetapi istilah Allah dipakai sebagai sebutan bagi Khaliq langit dan bumi
oleh orang-orang Kristen Arab di wilayah Syria. Hal ini dibuktikan dari
sejumlah inskripsi Arab pra-Islam yang semuanya ternyata berasal dari
lingkungan Kristen.
Salah satu inskripsi kuno yang ditemukan pada
tahun 1881 di kota Zabad, sebelah tenggara kota Allepo (Arab: Halab),
sebuah kota di Syria sekarang, meneguhkan dalil tersebut. Inskripsi
Zabad ini telah dibuktikan tanggalnya berasal dari azman sebelum Islam,
tepatnya tahun 512. Menariknya, inskripsi ini diawali dengan perkataan
Bism-al-lah, "Dengan Nama al-lah" (bentuk singkatnya: Bismillah, "Dengan
Nama Allah"), dan kemudian diusul dengan nama-nama orang Kristen Syria.
Bunyi lengkap inskripsi Arab Kristen ini dapat direkonstruksi sebagai
berikut:
"Bism' al-lah: Serjius bar 'Amad, Manaf wa Hani bar Mar al-Qais, Serjius bar Sa'd wa Sitr wa Sahuraih"
terjemahannya :
- Dengan Nama Allah: Sergius putra Amad, Manaf dan Hani putra Mat al-Qais, Sergius putra Sa'ad, Sitr dan Shauraih. (8)
Menurut
Yasin Hamid al-Safadi, dalam The Islamic Calligraphy, inskripsi
pra-Islam lainya yang ditemukan di Ummul Jimal dari pertengahan abad
ke-6 Masehi, membuktikan bahwa berbeda dengan yang terjadi di Arab
selatan, di sekitar Syria nama 'Allah' disembah secara benar. Inskripsi
Ummul Jimmal diawali dengan kata-kata Allah ghafran (Allah mengampuni).
(9)
Bahkan menurut Spencer Trimingham, dalam bukunya Christianity
among the Arabs in the pre-Islamic Times, membuktikan bahwa pada tahun
yang sama dengan diadakannya Majma' (Konsili) Efesus (431), di wilayah
suku Arab Hartis (Yunani: Aretas ) dipimpin seorang uskup yang bernama
'Abd Allah (Hamba Allah). (10)
Dari bukti-bukti arkeologis ini,
jelas bahwa sebutan Allah sudah dipakai di lingkungan Kristen sebelum
zaman Islam yang dimaknai sebagai sebutan bagi Tuhan Yang Mahaesa,
Pencipta langit dan bumi.
PENGGUNAAN BAHASA IBRANI, YUNANI DAN ARAMI PADA ZAMAN YESUS
Cukup
mengherankan bahwa "para penentang Allah" itu selalu menggunakan Ha
B'rit ha-Hadasah (Perjanjian Baru bahasa Ibrani) dan memperlakukannya
seolah-olah itulah teks bahasa aslinya. Dalam Perjanjian Baru berbahasa
Ibrani ini tentu saja kita akan menjumpai nama Yahwe. Tetapi Perjanjian
Baru berbahasa Ibrani itu adalah hasil terjemahan dari bahasa Yunani.
Penerjemahan dilakukan oleh United Bible Society in Israel, baru pada
tahun 1970-an.
Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam bahasa
Yunani Koine dan para rasul Yesus tidak mempertahankan nama diri Yahwe.
Saya setuju bahwa Yesus ketika masuk ke sinagoge, Baginda mengutip
teks-teks Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani (Lukas 4:18-19). Namun,
kita juga harus paham bahwa Baginda juga telah bercakap-cakap dalam
bahasa Arami dengan murid-murid-Nya sebagai "bahasa ibunda" masyarakat
Yahudi pada zaman intu.
Nota-nota dan Referensi
Majalah DR, "Ketika Allah diperdebatkan", 9-14 Ogos 1999.
Andrew
D. Clarcke dan Bruce W.Winters (ed.), Satu Allah satu Tuhan: Tinjauan
Alkitab tentang Pluralisme Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995),
hlm.50
Buthros 'Abd al-Malik (ed.), Qamus al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Jami' al-Kana'is fii al-Syarif al-Adniy, 1981), hlm.107
Al-Qamas
Isodorus al-Baramus, Al-Ajabiyat: shalawat As-Sa'at wa Ruh al-Tashra'at
(Kairo: Maktabah Mar Jurjis al-Syaikulaniy Syabra, 1996), hlm. 79.
"Risalat
Bulus ar-Rasul ila Ahl Kurinthus al-Awwal 8 : 4-6", dalam al-Kitab
al-Muqaddas (Beirut: Dar al-Kitab al-Muqaddas fii al-Syariq al-Ausath,
1992).
Rev. C.I. Schofield (ed.), Holy Bible, Schofield Reference (London: Oxford University Press, 1945), hlm.3
Kita
lihat bahwa Allah itu Al-nya merupakan hamzah washl. Kerana itu menjadi
wallahi, billahi dan sebagainya. Itu berarti kata Allah bukan merupakan
akar kata yang asli. Sebab akar kata yang asli pasti menggunakan hamzah
qath'. Lihat: Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai
Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina,
1998), hlm.262.
Bacaan Bism al-lah (Dengan Nama Allah) berasal dari
Yasin Hamid al-Safadi, Kaligrafi Islam. Alih Bahasa: Abdul Hadi WM
(Jakarta: PT. Panca Simpati, 1986), hlm. 6. Sedangkan M.A. Kugener, Note
sur l'inscription triligue de Zebed (1907) seperti dikutip Spencer
Trimingham Christianity Among the Arabs in pre Islamic Times
(London-Beirut: Longman-Librairie du Liban, 1979), hlm. 226, membacanya
"Teym al-Ilah".
Jadi, sebagai nama diri yang diusul oleh nama-nama
lainnya, bukan sebagai bunyi sebuah doa. Tetapi apa pun bunyi yang
paling tepat dari awal inskripsi itu, yang jelas kata al-llah, Allah
sudah dipakai dalam makna Tauhid Kristen, dan bukan dalam makna dewa
berhala yaitu pagan.
Yasin Hamid al-Safadi, Loc.Cit
Spencer Trimingham, Op. Cit. Hlm. 74
Matthew Black, An Aramaic Approach to the Gospels and Acts (Oxford: At the Calrendon Press, 1967).
Rabbi
Nosson Scherman-Rabbi Meir Zlotowitz (ed.), Humasah Humasy Torah 'im
Targum Onqelos (Brooklyn: Mesorah Publications, Ltd. 1993), hlm.xxvi.
Selanjutnya, mengenai Nama (dan nama-nama) Allah, cf. "Parashas Shemos",
hlm.304-305.